
Di Balik Lampu Hijau Squid Game. Kenapa Kita ‘Menikmati’ Tontonan Penuh Penderitaan?
“Kok bisa ya, kita nonton Squid Game sambil ngemil, padahal yang ditonton isinya orang mati satu-satu?”
Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di benak kita. Serial Korea ini memang fenomenal. Sebuah tontonan penuh kekerasan, ketegangan, dan pengkhianatan, namun sukses membuat jutaan orang terpaku di depan layar. Tapi, pernahkah kamu berpikir… kenapa kita begitu tertarik, bahkan menikmati, cerita yang isinya penderitaan?
Tenang, kamu tidak aneh. Ada penjelasan psikologis yang menarik di baliknya.
Simulasi Emosi di Ruang yang Aman
Sebagai manusia, otak kita dirancang untuk penasaran. Kita senang memecahkan misteri, menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, dan yang terpenting, kita butuh merasakan emosi. Tontonan seperti Squid Game memberikan kita sebuah “arena” yang aman untuk merasakan emosi-emosi intens—seperti takut, marah, kaget, atau sedih—tanpa harus menanggung risikonya di dunia nyata.
Kita bisa merasakan ketegangan saat lampu merah menyala, tapi kita tahu kita tidak akan benar-benar ditembak. Ini adalah sebuah simulasi emosional yang membuat kita merasa “hidup” tanpa bahaya yang sesungguhnya.
Cermin di Dalam Diri Kita
Alasan lain yang lebih dalam adalah karena kita bisa relate. Mungkin bukan dengan permainannya, tapi dengan para tokoh di dalamnya.
- Kita melihat Gi-Hun yang terhimpit beban hidup dan utang.
- Kita melihat Sang-Woo yang cerdas namun gagal memenuhi ekspektasi besar orang-orang di sekitarnya.
- Kita melihat Sae-Byeok yang harus menjadi kuat sendirian demi keluarga.
- Atau kita melihat Ali yang terus berusaha menjadi orang baik di dunia yang terasa begitu keras.
Dalam diri mereka, ada potongan-potongan dari perjuangan kita sendiri. Tanpa sadar, kita mungkin sedang memproyeksikan luka, rasa kecewa, bahkan kemarahan kita ke karakter-karakter itu. Kita ikut marah saat mereka dikhianati. Kita ikut lega saat mereka selamat. Dan kita ikut hancur saat mereka harus kalah. Tontonan itu menjadi sebuah katarsis, sebuah pelampiasan emosi yang mungkin selama ini kita pendam.
Sebuah Pengingat Penting: Kapan Hiburan Menjadi Kebal Rasa?
Namun, ada satu hal yang perlu kita waspadai. Jika kita terlalu sering dan terlalu banyak menyaksikan penderitaan—bahkan yang fiksi sekalipun—tanpa pernah mengolah perasaan yang muncul setelahnya, kita berisiko menjadi kebal rasa atau desensitized.
Rasa empati kita bisa menipis. Hati menjadi terbiasa dengan pemandangan tragis. Akibatnya, kita mungkin jadi kurang peka saat melihat orang di sekitar kita sedang benar-benar kesulitan, atau bahkan saat diri kita sendiri pun sebenarnya sudah lama kelelahan secara mental.
Maka, mari kita berhenti sejenak. Bukan untuk berhenti menonton, tapi untuk menjadi lebih sadar dan bertanya pada diri sendiri:
- Apakah aku benar-benar baik-baik saja?
- Apakah aku sedang menikmati sebuah cerita… atau sebenarnya aku sedang mencari tempat untuk menyalurkan rasa sakitku sendiri?
Jika jawaban dari pertanyaan itu membuatmu jeda, itu bukanlah sebuah kelemahan. Itu adalah sinyal bahwa kamu adalah manusia yang punya perasaan, dan mungkin kamu butuh tempat yang aman untuk memahami perasaan itu lebih dalam.
Kamu Tidak Harus Memproses Semuanya Sendirian
Di Biro Psikolog Konseling Maknai, kami percaya setiap orang punya sisi yang ingin dipahami. Setiap orang punya beban yang tak bisa dibawa sendiri terus-menerus. Dan setiap orang layak mendapatkan ruang untuk bicara tanpa takut dihakimi.
Jika kamu merasa butuh teman untuk memproses apa yang kamu rasakan—baik itu karena tontonan, atau karena kehidupan nyata yang terasa tak kalah berat—kami hadir untukmu.
Kamu bisa mulai ngobrol bareng konselor Maknai hari ini. Tidak perlu cerita yang sempurna. Cukup jujur, cukup hadir.
Di Maknai, kamu bisa pulih dengan perlahan, dan tetap menjadi manusia.