
Seong Gi-hun Player 456 Squid Game. Si Ayah Gagal yang Menemukan Harapan di Tengah Kengerian
“Aku bukan orang jahat. Aku cuma… terus gagal.”
Kalimat itu mungkin terasa begitu dekat. Sebuah bisikan yang mungkin pernah terlintas di kepalamu saat melihat cermin, saat merenung di tengah malam. Kalimat yang menjadi inti dari perjuangan Seong Gi-hun.
Gi-hun adalah kita. Dia adalah gambaran orang biasa yang hidupnya perlahan-lahan runtuh, bukan karena niat jahat, tapi karena serangkaian pilihan yang salah dan nasib yang tak berpihak. Ia kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Dulu, ia adalah seorang ayah, seorang suami, seorang anak. Namun, satu per satu, semua peran itu seakan hancur di tangannya. Perceraian yang menyakitkan, usaha yang bangkrut, pengangguran yang membuatnya tak berdaya, hingga puncaknya, ia bahkan tak punya uang untuk sekadar membelikan hadiah ulang tahun untuk putri tercintanya.
Seong Gi-hun hidup dalam lautan rasa bersalah. Tapi di balik semua kerapuhan itu, ada satu hal yang tidak pernah padam: dia masih ingin berubah.
Antara Putus Asa dan Ingin Bertahan
Dari kacamata psikologis, Gi-hun adalah potret seseorang yang mengalami krisis identitas, duka yang tak terselesaikan, dan depresi ringan yang tersembunyi. Seperti banyak dari kita di dunia nyata, ia berusaha menutupi semua itu dengan:
- Senyum palsu yang dipaksakan.
- Lelucon yang sebenarnya tidak lucu, hanya untuk mencairkan suasana.
- Menghindari konflik dan pembicaraan serius.
- Dan terus berharap, bahwa suatu hari nanti akan datang keajaiban.
Permainan “Squid Game” menjadi arena yang brutal. Ia “menelanjangi” Gi-hun secara emosional. Di sana, ia tidak bisa lagi lari dari luka-luka batinnya. Tapi justru di tengah tekanan yang paling gelap itulah, sisi kemanusiaannya yang paling murni perlahan muncul kembali.
Ketika Rasa Bersalah Berubah Jadi Keberanian
Banyak dari kita mungkin pernah berada di posisi Gi-hun. Merasa sudah terlalu jatuh untuk bangkit. Merasa gagal sebagai anak, gagal sebagai pasangan, atau gagal sebagai orang tua. Kita merasa label “gagal” itu sudah menempel permanen.
Tapi lewat karakter ini, kita diajarkan sebuah pelajaran penting: meski tak sempurna, kamu masih punya pilihan.
- Pilihan untuk peduli pada orang lain, bahkan saat duniamu sendiri sedang hancur.
- Pilihan untuk bangkit, meski harus merangkak.
- Pilihan untuk tidak mengulang luka yang sama pada orang yang kamu sayangi.
Dan yang paling penting: di tengah semua kegagalan itu, kamu masih punya nilai sebagai seorang manusia.
Kamu Tidak Harus Menunggu Sampai Hancur Dulu
Gi-hun memang “terselamatkan” di akhir cerita. Tapi hidup bukanlah sebuah film. Kita tidak bisa menggantungkan harapan pada sebuah permainan untung-untungan.
Kamu tidak harus menunggu sampai semuanya terasa gelap gulita untuk mencari cahaya.
Kalau kamu merasa terjebak seperti Gi-hun—merasa sendirian, merasa gagal, dan bingung harus mulai dari mana—itu bukanlah sebuah aib. Itu adalah sinyal dari jiwamu bahwa kamu butuh didengarkan, butuh ditolong.
💬 Dan di sinilah kamu bisa mulai bicara.
Tim Psikolog di Maknai siap mendengarkan ceritamu tanpa menghakimi. Kami percaya, terkadang kamu hanya perlu satu orang yang benar-benar mau mencoba memahami isi kepalamu.
Seong Gi-hun bukan hanya tokoh fiksi. Dia adalah cerminan dari kita semua—yang sedang berusaha sekuat tenaga.
Dan kamu, seperti dia, pantas untuk menemukan harapan di tengah semua ini.
🟢 Siap untuk didengarkan? Klik untuk menjadwalkan sesi konseling di Maknai.